Jumat, 13 Mei 2011

TPA Jatibarang Semarang

PENCEMARAN DI TPA JATIBARANG
Oleh : Angkatan 31, SEPTIMA ERNAWATI


Hasil kunjungan kami angkatan 31 ke Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Jatibarang, Kelurahan Bambankerep, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang adalah sangat memprihatinkan. Alasan saya yang pertama adalah jalannya yang kurang bagus, tidak rata atau banyak berlubang. Kemudian aroma yang khas sampah, kurang lebih 3 km dari TPA sudah tercium. Terlihat 15 truk sampah antri untuk membuang sampah bawaannya tanpa penutup/jaring bak sampahnya. Lokasi TPA tersebut terlihat lahan yang becek dan beberapa ekor sapi. Sayang sekali saya tidak melihat langsung Instalasi Pembuangan Air Limbahnya (IPAL) di jalan yang menurun karena sempit dan becek. Jadi mobil kami tidak berani turun kearah tempat IPAL-nya. Perjalanan selanjutnya adalah ke tempat satu lagi TPA Jatibarang. Di tempat yang satu ini sampah berton-ton dan sapi ratusan ekor. Saya merasa prihatin sekali dengan lingkungan sekitarnya. Apakah ada yang mau tinggal atau ada perkampungankah di sekitar sini? Ternyata dipinggir jalan ada 5 orang bapak-bapak, dan saya bisa bertanya mengenai lingkungan sekitar. Bapak Muntari salah satunya adalah menunggu sekaligus menjaga sapi-sapinya yang sedang mencari makan di tempat sampah tersebut. Bapak ini penduduk kelurahan Bambankerep dan sudah terbiasa dengan aroma sampah. Pak, apa enaknya tinggal di sekitar sini to pak, wong bau sampah seperti ini ? tanya saya kepadanya. La wong saya sudah dikasih 2 ekor sapi sama pemerintah sewaktu tahun 2000 dan sekarang tahun 2011 sapi saya sudah ada 10 ekor, sampah-sampah ini adalah makanan sapi-sapi masyarakat Bambankerep, jadi masyarakat Bambankerep juga membutuhkan tempat TPA ini, kata bapak Muntari dengan nrimo dan bijak. Kasus TPA Jatibarang tersebut membuat saya miris dan prihatin. Dari Sapinya tidak makan lagi rumput segar, masyarakatnya tidak memiliki udara yang segar atau bau khas tanah yang segar. Untuk resapan air di tempat tinggal bapak Muntari tadi memang tidak bermasalah, katanya. Bagaimana tetangga bapak Muntari yang lain? Rasanya sayang daerah bagus kota Semarang masih ada tempat seperti ini.
Pertumbuhan jumlah penduduk kota Semarang dengan dinamikanya akan terus meningkatkan laju konsumsi masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah yang dihasilkan. Sedangkan pengelolaan sampah yang umumnya dilakukan saat ini adalah menggunakan sistem open dumping (penimbunan secara terbuka) serta tidak memenuhi standar yang memadai. Sehingga daerah tersebut kehilangan peluang untuk memberdayakan sampah, memanfaatkannya serta meningkatkan kualitas lingkungannya. Apabila hal ini tidak tertangani dan dikelola dengan baik, peningkatan sampah yang terjadi tiap tahun itu bisa memperpendek umur TPA dan membawa dampak pada pencemaran lingkungan, baik air, tanah, maupun udara. Di samping itu, sampah berpotensi menurunkan kualitas sumber daya alam, menyebabkan banjir dan konflik sosial, serta menimbulkan berbagai macam penyakit.
Sistem terbuka (open dumping) pada 2013 sesuai amanat undang-undang persampahan, semua daerah harus segera bersiap-siap menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Tidak ada alternatif lain kecuali meningkatkan pengelolaan sistemnya. Pilihan terbaik adalah membangun TPA sanitary landfill. Namun jika pemerintah daerah tidak mampu membangun TPA sanitary landfill, sistem controlled landfill bisa menjadi pilihan. Hanya saja, sistem ini bersifat sementara sampai sistem sanitary landfill bisa diwujudkan. Di mana perbedaan sistem-sistem tersebut? Pada sistem terbuka (open dumping), sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun. Tidak ada penutupan tanah. Tak heran bila sistem ini dinilai sangat mengganggu lingkungan.
Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun dengan lapisan tanah setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan dan pemadatan sampah. Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk bisa melaksanakan metode ini, diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, di antaranya :
* Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan.
* Saluran pengumpul air lindi (leachate) dan instalasi pengolahannya.
* Pos pengendalian operasional.
* Fasilitas pengendalian gas metan
* Alat berat
Sedangkan sistem sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Ada proses penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap hari. Penutupan sel sampah dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari.
Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internasional. Untuk meminimalkan potensi gangguan timbul, maka penutupan sampah dilakukan setiap hari. Namun, untuk menerapkannya diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal.
Di Indonesia, metode sanitary landfilled dianjurkan untuk diterapkan di kota besar dan metropolitan. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, sama seperti fasilitas dalam sistem controlled landfill. Tentu dengan kebutuhan jumlah dan spesifikasi yang berbeda. Bisa dilihat seperti pada gambar di bawah ini :


(Sumber : http://www.sanitasi.or.id)